Background

Peran Militer dalam Pembangunan Demokratisasi di Indonesia.

“Bisnis Militer Sebagai Batu Sandungan Demokratisasi dan Supremasi Sipil”


Dalam rangka mendorong proses demokratisasi dan penegakan HAM serta menciptakan tranparansi anggaran dan akuntabilitas public dalam hal pembiayaan negara terhadap militer, maka salah satu masalah utama saat ini adalah bagaimana menciptakan militer dengan dukungan anggaran resmi dari negara dan dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya. Sehingga discourse perihal perlu tidak perlunya bisnis militer atau menciptakan akuntabilitas public bagi bisnis yayasan-yayasan dan unit-unit usaha militer menjadi tidak relevan lagi sebenarnya.
Penegakkan demokrasi mensyaratkan adanya militer yang professional, tunduk pada otoritas sipil dan campur tangan dalam proses politik, sepenuhnya sebagai alat negara. Dalam rangka mendorong demokratisasi, control terhadap militer menjadi keharusan, terlebih setelah lebih dari 30 tahun militer Indonesia menjadi institusi yang “tidak terjamah” public. Tap MPR no. VII/2000 Tentang pemisahan kepolisian dan militer yang awalnya diharapkan dapat digunakan sebagai titik awal control sipil terhadap militer ternyata bagai macan ompong. Salah satu factor mendasarnya adalah belum mempunyai negara membiayai pembiayaan rutin institusi ini. Ketika pemerintah tidak mampu memenuhi pembiayaan rutin dan operasional militer secara maksimal, dengan serta merta pemerintah menjadi tidak berdaya menghadapi bisnis militer.
Sampai sekarang, hampir secara keseluruhan operasi-operasi militer tidak dapat dikontrol pemerintah maupun DPR. Ketika kejahatan-kejahatan kemanusiaan melalui operasi-operasi militer oleh kalangan petinggi militer, pemerintah sipil dan DPR tidak mampu mendapatkan informasi yang memadai perihal kebenaran fakta karena ketiadaan akses serta kemampuan militer menutup-nutupi kebenarannya.
Cara paling mudah untuk mengetahui ada tidak operasi militer adalah dengan mengecek adanya perintah operasi dan pengalokasian dana untuk operasi tersebut. Sialnya, sulit untuk dilakukan karena ketidakjelasan sumber dana dan ketidakjelasan pengontrolan oleh instusi sendiri. Perolehan dana dari yayasan-yayasan AD, AL, AU dan Polri serta aktifitas-aktifitas ekonomi yang bercorak “abu-abu” seperti bisnis prostitusi, perdagangan alcohol, senjata, bisnis dan seterusnya menjadi sumber-sumber yang tidak pernah dilaporkan, sehingga sulit di tuntut akuntabilitas dan pertanggungjawabannya.
Sebagai langkah awal, banyak pihak yang mengusulkan adanya pertanggungjawaban dan transparansi keuangan disektor keamanan terutama yang berkaitan dengan konskuensi operasi militer dan pengelolaan budget yang bersumber dari anggaran negara. Tindakan ini diambil sebagai upaya pra kondisi untuk mengurangi peran militer dalam politik dan ekonomi, memutus politik impunity militer, serta mendukung adanya konsolodasi demokrasi di Indonesia.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman pada masa lalu, tindakan ini perlu diambil sebab factor-faktor berikut ini:
·      Pendanaan off budget militer dan polisi telah membangun peluang penyalahgunaan kekuasaan dan menguatkan kembali peran politik militer dalam rangka melindungi kepentingan ekonomi mereka.

· Ketidaktransparan anggaran telah menimbulkan banditisme militer, pelanggaran HAM dan korupsi.
· Operasi-operasi dapat diluar komando, sebab jika militer mampu menyediakan sendiri anggarannya maka militer akan memiliki otonomi dan mempunyai agenda-agenda tersendiri diluar kontrool sipil.
· Militer seringkali memanfaatkan konflik dan situasi keamanan yang abnormal untuk kepentingan bisnis, seperti yang terjadi di aceh, Maluku, aceh dan Papua.
· Ketiadaan transparansi pengeluaran off budget telah memberi jalan bagi militer untuk mendanai secara langsung kelompok milisi dan dimana kelompok-kelompok tersebut tidak dapat di control public, secara langsung terlihat dan harus bertanggungjawaban terhadap kekerasan dan pelanggaran HAM                  

Categories: Share

Leave a Reply