Penanganan Teroris dan ISIS di Kawasan Asia-Pasifik
Terorisme
dengan motivasi dan dasar ideologi apapun adalah masalah. Di antara perilaku
teror di Indonesia kerap dilakukan oleh kelompok bersenjata di Papua, Aceh dan
dilakukan oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam sebagai
ideologinya. Penulis mencoba menelusuri perkembangan terorisme yang dimulai
sejak keterlibatan warga negara Indonesia dalam perang Afghanistan sampai
adanya gerakan ISIS.
Yoram
Scweitzer, melalui tulisannya “The Age of Conventional Terrorism”, dalam
Strategic Assessment (2003), menjelaskan dengan cukup rinci tentang alumni
perang Afghanistan di Indonesia. Keberangkatan mujahidin ke Afghanistan,
menurutnya, adalah kesadaran spiritual untuk membantu membebaskan negara muslim
Afghanistan dari penjajahan Uni Soviet. AS sebagai negara pesaing Uni Soviet
tentu saja mendukung dengan gerakan mujahidin Indonesia saat itu. Bahkan,
kelompok mujahidin al-Qaida terbentuk atas sokongan Amerika Serikat dalam
perang melawan Uni Soviet di Afghanistan.
"Bahkan,
kelompok mujahidin al-Qaida terbentuk atas sokongan Amerika Serikat dalam
perang melawan Uni Soviet di Afghanistan"
Yoram
kemudian menguraikan bahwa saat itu, di Afghanistan, sedikitnya ada 12 kelompok
pejuang kaum mujahidin. Dari 12 faksi
tersebut, hanya 5 faksi saja yang pernah menjadi tempat bagi kaum mujahidin
asal lndonesia. Hampir semua yang yang bajihad adalah berasal dari kalangan
NII. Taliban adalah kelompok pejuang luar bukan asli Afghanistan. Mereka adalah
pelajar yang berasal dari Universitas As-Suud, Riyadh.
Kelompok
referens kedua adalah Gulmuddin Hekmatiyar. Kelompok ini adalah kelompok
nasionalis Afghanistan. Mujahidin Indonesia berasal dari PII, GPI, GPH, KISDI,
PPP, Jamaah Tabligh, dan Jamaah Tarbiyah.
Kelompok
ketiga adalah Burhanuddin Rabbani. Burhanuddin Rabbani adalah pemimpin militer
Afghanistan yang sempat menguasai ibukota Afghanistan. Pasukan ini juga
merekrut pasukan asing profesional.
Keempat
adalah kelompok Al Qaeda. Kelompok Al Qaeda ini didirikan oleh Osama bin Laden
pada Tahun 1988 di Jalalabad, Afghanistan. Kemungkinan para alumni Afghan di
Indonesia ada yang berafiliasi dengan faksi Al Qaeda atau Qaidatul Jihad.
Kelima
adalah kelompok Abdul Rasul Sayyaf. Abdul Rasul Sayyaf adalah pemimpin kelompok
jihad Irtihad-i-Islam, Azadi Afghanistan (Islamic Union for Liberation of
Afghanistan). Nama tersebut diadopsi
dari kelompok Islam Moro di Filipina Selatan, MILF. Para Mujahidin yang berasal
dari Indonesia yang bergabung dengan kelompok Abdul Rasul Sayyaf ini adalah
mujahidin yang berasal dari Banten (Ustadz Cecep Bustomi).
Selama di
Afganistan, mereka wajib mengikuti pendidikan jihad yang cukup komprehensif
seperti tactic, map reading, weapon training, filed engineering, mine and
destruction, dan sejumlah pelajaran agama Islam yang menjadi penguat atas
keterlibatan dalam melawan penjajahan Uni Soviet. Pelajaran tersebut semisal
tafsir, fiqih sirah, fiqih haroki, fiqih ibadah, dan fiqih jihad (Nasir Abbas).
Pasca Jihad
di Afghanistan
Seperti yang
diuraikan oleh Fauzan al-Anshary dan dikutip oleh Yoram, pasca mengikuti perang
di Afghanistan, jihadis Indonesia juga melakukan pilihan aktivitas berbeda.
Terdapat sebagian alumni yang lebih berafiliasi kepada NII dan mengikuti
kegiatan pelatihan di kamp Towrkham Afghanistan kemudian beralih menjadi
anggota al-Jamaah al-Islamiyah.
Sebagian
dari mereka juga melanjutkan "jihad" dengan membantu bangsa Moro di
Filipina Selatan. Terdapat pula orang Indonesia yang bukan alumni Afghanistan
dan terlibat dalam latihan perang di Kamp Hudaybiyah Filipina Selatan yang juga
berafiliasi kepada al-Jamaah al-Islamiyah.
Mayoritas
alumni perang Afghanistan kembali hidup normal dan memiliki aktivitas yang
wajar sepulang dari Afghanistan dan umumnya adalah pedagang. Namun, sebagian
dari mereka juga mengalami ketersenajangan kondisi sosial-budaya ketika kembali
ke Indonesia. Merton menyebutnya sebagai bentuk Anomie. Situasi realitas yang
jauh dari konsepsi idealitas seseorang.
Imam
Samudera atau Amrozi adalah sebagian dari alumni Afghanistan yang memerlukan
wajihah amal (media sosial) atas pengalaman lahir-batin yang mereka alami
puluhan bulan di Afghanistan. Pada fase berikutnya, keterlibatan alumni
Afghanistan dalam kelompok al-Qaeda atau JI terus mengalami perdebatan ideologi
di internal mereka. Aksi terorisme yang mereka lakukan juga berimplikasi pada
pro dan kontra di kalangan internal mereka dan berakibat terbentuknya faksi-faksi
kecil bagi kalangan kelompok yang mempunyai semangat jihad tersebut
(Fathurrohman, 2013).
Momentum
ISIS
Ekstremisme
yang ditimbulkan oleh alumni perang Afghanistan yang mungkin akan dilakukan
oleh alumni perang Irak dan Suriah perlu mendapat perhatian. Terdapat
ideologisasi nilai-nilai jihad yang mereka peroleh selama di Irak dan Suriah
dalam perang genosida Sunni yang dilakukan kelompok Syiah. Keterlibatan warga
negara Indonesia sebagai relawan dan fokus pada upaya penyelamatan korban
perang di Suriah adalah sah dan wajar.
Sementara
keterlibatan secara aktif dalam perang senjata warga negara Indonesia dan tanpa
difasilitasi oleh pemerintah Indonesia, maka akan menjadi masalah tersendiri.
Menjadi persoalan tersendiri jika ideologi perang tersebut dibawa dan bahkan
diwariskan dalam konteks situasi sosial masyarakat Indonesia yang damai.
Aktivitas terorisme di Indonesia tidak dapat dibenarkan.
Wawancara
penulis dengan salah satu mantan narapidana teroris di Semarang menyebutkan
bahwa kini terjadihalaqoh-halaqoh atau kelompok-kelompok kecil di internal
aktivis (2013). Mereka tidak mempunyai tokoh referensi yang bisa didengar
secara mutlak.
Benang merah
dari berbagai faksi tersebut adalah adanya keinginan menegakkan daulah
Islamiyah (negara yang berdasarkan syariat Islam). Lapas sendiri belum
sepenuhnya efektif dalam upaya melakukan deradikalisasi terhadap narapidana
terorisme. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya narapidana terorisme yang
melakukan aksi baiat mendukung ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah atau
Negara Islam Irak dan Suriah).
"Lapas
sendiri belum sepenuhnya efektif dalam upaya melakukan deradikalisasi terhadap
narapidana terorisme. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya narapidana
terorisme yang melakukan aksi baiat mendukung ISIS (Islamic State of Iraq and
Suriah atau Negara Islam Irak dan Suriah)"
Saat ini,
ISIS di Indonesia seolah menemukan momentum penguatan dan eksistensi dengan
adanya perang Suriah, Irak, dan Gaza. Kamarulnizam (2012) menyebutkan bahwa
motivasi teror adalah respon terhadap penguasa tiran, korupsi, eksploitasi,
ketidakadilan sosial dan global, genosida (kaum muslimin), dan karena
penindasan.
Dalam
konteks global, terdapat ketidakpercayaan terhadap dunia dengan apa yang
ditunjukkan oleh PBB, OKI, atau Liga Arab. Perang adalah solusi atas segala
penderitaan yang dialami di Irak dan Suriah dalam melawan Syiah dan di Gaza
dalam melawan Israel yang didukung Amerika Serikat. ISIS yang mendeklarasikan
diri sebagaiDaulah Islamiyah (Islamic State)
tampak seperti oase bagi sebagian aktivis.
Model jihad
qital (perang) juga menjadi wajihah (media) untuk menyalurkan semangat
jihadnya. Hal tersebut menjadi persoalan ketika penerapan jihad qital (jihad
perang) dilakukan di negara damai seperti di Indonesia. Kelompok-kelompok
tersebut tidak lagi peduli dengan adanya dugaan bahwa ISIS adalah bentukan
Amerika Serikat dalam melanjutkan hegemoni-nya di dunia Islam. Terlebih, secara
nyata ISIS juga vis a vis terhadap Amerika Serikat.
Penanganan
persoalan terorisme, termasuk ISIS, dengan menggunakan model legal-positivism
dinilai kurang efektif karena faktanya trend kejadian aksi terorisme terus
berlanjut dari waktu ke waktu. Bahkan motif aksi terorisme mengalami pergeseran
dari yang awalnya adalah simbol Amerika Serikat dan sekutunya kemudian beralih
kepada polisi Densus 88 dan kini beralih kepada polisi umum bahkan masyarakat
biasa.
Deradikalisasi
sebagai fokus pendekatan yang dilakukan oleh BNPT dan para pegiat
anti-terorisme hanya akan berhasil jika dilakukan secara tepat baik metode
ataupun sasaran program. Jarak yang sangat jauh antara kelompok teroris dengan
pegiat perdamaian adalah persoalan mendasar yang membuat program deradikalisasi
yang selama ini berlangsung berjalan tidak efektif.
Upaya
pelibatan berbagai lembaga non-pemerintah seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia, pesantren, lembaga pendidikan, yayasan, atau
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah perlu untuk terus dilakukan oleh BNPT
sebagai focal point dalam penanganan terorisme di Indonesia. Lembaga-lembaga
tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan akses untuk dapat berdialog
secara kultural (informal) dengan komunitas aktivis.
"Upaya
pelibatan berbagai lembaga non-pemerintah seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia, pesantren, lembaga pendidikan, yayasan, atau
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah perlu untuk terus dilakukan oleh BNPT
sebagai focal point dalam penanganan terorisme di Indonesia"